Langsung ke konten utama

Ketika Pintu-pintu Masjid Terkunci

Matahari telah naik sepenggelahan, Tiara berjalan di seputar masjid, lalu menuju pintu masjid dan menarik gagang pintu masjid. Namun, pintu tersebut tidak dapat dibuka.

“Mbak, pintunya dikunci. Biasanya dibuka bila jam duabelasan, ketika mau masuk waktu shalat Zhuhur,” ujar salah seorang perempuan yang sedang membaca buku di teras masjid.

“Oh gitu ya,” sahut Tiara dengan penuh kecewa.

“Iya, kalau Mbak mau shalat, di teras masjid sebelah sana,” jawab perempuan tersebut sambil menunjuk ke teras samping masjid yang bersebelahan dengan toilet.

“Terima kasih Mbak,” kata Tiara sambil tersenyum. Ia kemudian berlalu menuju teras samping masjid, dan di sana ada beberapa pria juga yang sedang melaksanakan shalat Dhuha. Tiara melirik ke arah toilet yang ada tulisan khusus wanita, ternyata ada beberapa bapak-bapak juga yang keluar dari sana, sepertinya mereka selesai whudu dilihat dari air wudhu di muka mereka.

“Kok mereka keluar dari toilet wanita,” gumam Tiara heran. “Mungkin karena tidak ada jamaah wanita kalau pagi, jadi diijinkan masuk ke toilet wanita,” simpul Tiara.

Tiara belum berani shalat karena banyak pria yang sedang shalat. Ia merasa agak risih. Ia lalu melaksanakan shalat di teras samping masjid tersebut ketika pria yang shalat Dhuha sedikit.

Selesai shalat, Tiara duduk di teras belakang masjid. Ia menunggu temannya yang sebelumnya sudah janjian. Sambil menunggu, ia menyaksikan kegiatan pengelola masjid yang sedang membersihkan dan merapikan masjid. Dalam galau hati karena pintu masjid dikunci, Tiara merenung, “Kok masjid jadi begini ya? Dibuka ketika waktu shalat saja. Bukankah masjid itu selalu terbuka kapan saja dan untuk siapa saja? Masjid kan bumi Allah, tempat setiap hamba Allah dapat melakukan aktivitas ibadahnya, kenapa harus dikunci? Kalau memang untuk menjaga kebersihan, bukankah ada pengelola masjid yang dapat membersihkannya, selain itu telah menjadi tugas mereka, bukankah itu juga peluang ibadah?"

Pada masa Rasulullah, masjid telah menjadi sentral aktivitas muslim dalam melakukan segala ibadahnya, seperti shalat, mengaji, mengajar, padahal waktu itu bangunan masjid sangat sederhana. Bahkan, karena sangat sederhananya masjid sampai ada seorang Arab Badui yang pipis di sudut masjid. Waktu itu Rasulullah melarang sahabat yang akan memarahi orang Badui tersebut tetapi beliau malah menyuruh para sahabat agar menyiram air pada bekas pipisnya orang Badui tersebut. Tidak ada pelarang dan penghardikan. Beliau hanya memerintahkan untuk membersihkannya, karena masjid memang terbuka untuk siapa saja. Lalu, tatkala sekarang masjid telah menjadi megah dan mewah seperti istana raja,kenapa mesti dibatasi waktunya? Kenapa pintu masjid terbuka ketika memasuki waktu shalat Zhuhur? Bukankah ada shalat Dhuha yang dilaksanakan ketika matahari telah naik sepenggelahan? Bukankah masjid bisa menjadi tempat untuk menghafal Al-Qur’an? Bukankah masjid bisa menjadi tempat belajar dan mengkaji keislaman serta kemasyarakatan? Ataukah sekarang masjid hanya simbol kemewahan dan kemegahan belaka? Ataukah memang masjid sekarang hanya terbuka pada waktu shalat lima waktu saja? Ataukah hanya masjid ini saja yang pintunya terbuka tatkala waktu Zhuhur tiba?

Wallahu’alam bishshawab

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Digitalisasi Kampung Wisata Etnik Keberagaman Pulo Geulis

Digitaliasasi kampung wisata etnik keberagaman Pulo Geulis sangat penting untuk perkembangan teknologi dan masyarakat 5.0. Budaya masa kini tidak lepas dari adanya budaya masa lalu. Hal yang menjadi proses terbentuknya budaya tidak lepas dari kebiasaan atau karakter warga dan masyarakatnya. Demikian pula dengan budaya keberagaman di Pulo Geulis, salah satu daerah yang ada di Kota Bogor. Pulo Geulis sendiri memiliki makna sebagai pulau yang cantik. Kalau dilihat secara geografisnya, Pulo Geulis berada di daerah delta yang membelah Sungai Ciliwung. Dari namanya yang geulis, membayangkan bahwa pulau ini dulunya cantik, tetapi setelah mengenalnya, ternyata pulau ini cantik bukan hanya secara sejarah, daerah, tetapi cantik juga pada karakter warganya yang mengusung toleransi keberagaman beragama. Ketika pertama kali menginjak Pulo Geulis, saya mengetahuinya sudah cukup lama karena selalu menjadi perbincangan di WAG mengenai keberagaman dalam beragamanya. Pada pulau tersebut terdapat klenten

Deklarasi Menarik, Meilina Kartika - Abdul Kholik Maju untuk Pilkada Bekasi 2017

Pesta rakyat dalam pemilihan daerah serentak 2017 sudah mulai digelar. Dengan pendaftaran calon bupati dan wakil bupati ke Komosi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) sebagai titik awal hajatan rakyat berada di titik star. Rabu, 21 September 2016, KPUD Kabupaten Bekasi menerima Meilina Kartika dan Abdul Kholik sebagai calon bupati dan wakilnya. Dengan mengusung deklarasi menarik, Meilina Kartika-Abdul Khalik maju untuk Pilkada Bekasi 2017. Deklarasi Menarik  Deklarasi Menarik menjadi hal penting dalam titik awal kampanye pemilihan yang sudah dimulai dengan pendaftaran di Komisi Pemilihan Umum Daerah Kabupaten Bekasi. Meilina Kartika dan Abdul Kholik memberi pernyataan untuk maju menuju Pilkada 2017. Menarik sendiri bisa menunjukkan sesuatu yang unik dan enguine sehingga menjadi ketertarikan atau magnet yang akan selalu membawa perubahan pada hal yang lebih baik. Namun kali ini, kata Menarik diterapkan dengan akronim dari Meilina-Abdul Kholik. Abdul Kholik memiliki nama panggilan Iik.

Sumpah Pemuda; Membentuk Karakter Pemuda

Hari ini, Senin, 28 Oktober, bertepatan dengan hari Sumpah Pemuda. Ikrar sumpah ini dilakukan pada akhir Kongres Pemuda Kedua, 28 Oktober 1928. Isi dari Ikrar Sumpah Pemuda itu sebagai berikut: Pertama Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia. Kedoewa Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia. Ketiga Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.  Sebuah ikrar para pemuda dalam mencintai ibu pertiwi. Sekarang ini, sumpah pemuda bukan secarik kertas yang dibaca berulang-ulang, tetapi menuntut bukti nyata para putra dan putri Indonesia, bukan janji atau sumpah simpati. Kecintaan akan negeri harus diterapkan sejak dini. Jangan sampai pemuda masa kini tak mengenal ciri khas ibu pertiwi. Terombang-ambing dari gempuran budaya asing, tanpa mengenal karakter dari budaya tanah air. Masuknya berbagai budaya asing, hendaknya anak-anak atau remaja mendapat b